Kondisi kejiwaan ibu sangat mempengaruhi mental anak perempuan. (istockphoto)
Stres Saat Bayi, Pengaruhi Mental Remaja Perempuan - Remaja perempuan lebih cenderung berjuang melawan gangguan kecemasan dan depresi saat bayi mengalami stres. Studi menemukan, bila anak perempuan dibesarkan ibu yang depresi, mengalami masalah keuangan, memiliki level hormon stres yang lebih tinggi saat balita.
Saat beranjak remaja, perkembangan otak anak yang stres juga berbeda dengan anak lain. Dua area otak yang mengatur emosi terpengaruh dan cenderung mengalami kesulitan di usia 18 tahun.
Para peneliti percaya stres pada awal kehidupan dapat menyebabkan perkembangan gangguan suasana hati pada anak. "Kami ingin memahami bagaimana pola stres di awal kehidupan berdampak pada perkembangan otak yang mungkin menyebabkan kecemasan dan depresi," kata penulis Dr Cory Burghy dari Laboratorium Waisman untuk Pencitraan Otak dan Perilaku.
"Anak perempuan usia prasekolah (usia 3-5 tahun) yang memiliki kadar kortisol tinggi menunjukkan konektivitas otak yang lebih rendah pada saraf yang berfungsi mengatur emosi. Ini dapat memprediksi gejala kecemasan selama masa remaja," ujar Burghy kepada Health News.
Selama penelitian, Dr Burghy mengamati 57 anak -- 28 perempuan dan 29 laki-laki. Mereka menemukan anak perempuan dengan hormon kortisol tinggi memiliki koneksi otak yang lemah.
Hasilnya yang dimuat dalam jurnal Nature Neuroscience mengungkap, ibu dari anak para perempuan dengan kortisol tinggi melaporkan tingkat stres yang lebih tinggi secara umum, termasuk gejala depresi, frustrasi, konflik perkawinan, merasa kewalahan dengan peran sebagai orangtua, dan atau tekanan keuangan.
Dr Richard Davidson, seorang profesor psikologi yang bekerja bersama Dr Burghy, mengatakan, "Kami menemukan, stres pada kehidupan berdampak berbeda pada anak laki-laki dan perempuan. Anak perempuan memiliki gangguan kecemasan yang lebih tinggi terutama pada masa remaja," ujarnya.
Temuan ini senada dengan studi di awal tahun, pada 10 ribu pria dan wanita. Disimpulkan, jenis kelamin memiliki kepribadian dan ketahanan yang berbeda menghadapi stres. Wanita, misalnya, cenderung memiliki sensitivitas dan kehangatan lebih tinggi. Sementara itu, laki-laki umumnya lebih stabil secara emosional dan dominan.
Para peneliti percaya stres pada awal kehidupan dapat menyebabkan perkembangan gangguan suasana hati pada anak. "Kami ingin memahami bagaimana pola stres di awal kehidupan berdampak pada perkembangan otak yang mungkin menyebabkan kecemasan dan depresi," kata penulis Dr Cory Burghy dari Laboratorium Waisman untuk Pencitraan Otak dan Perilaku.
"Anak perempuan usia prasekolah (usia 3-5 tahun) yang memiliki kadar kortisol tinggi menunjukkan konektivitas otak yang lebih rendah pada saraf yang berfungsi mengatur emosi. Ini dapat memprediksi gejala kecemasan selama masa remaja," ujar Burghy kepada Health News.
Selama penelitian, Dr Burghy mengamati 57 anak -- 28 perempuan dan 29 laki-laki. Mereka menemukan anak perempuan dengan hormon kortisol tinggi memiliki koneksi otak yang lemah.
Hasilnya yang dimuat dalam jurnal Nature Neuroscience mengungkap, ibu dari anak para perempuan dengan kortisol tinggi melaporkan tingkat stres yang lebih tinggi secara umum, termasuk gejala depresi, frustrasi, konflik perkawinan, merasa kewalahan dengan peran sebagai orangtua, dan atau tekanan keuangan.
Dr Richard Davidson, seorang profesor psikologi yang bekerja bersama Dr Burghy, mengatakan, "Kami menemukan, stres pada kehidupan berdampak berbeda pada anak laki-laki dan perempuan. Anak perempuan memiliki gangguan kecemasan yang lebih tinggi terutama pada masa remaja," ujarnya.
Temuan ini senada dengan studi di awal tahun, pada 10 ribu pria dan wanita. Disimpulkan, jenis kelamin memiliki kepribadian dan ketahanan yang berbeda menghadapi stres. Wanita, misalnya, cenderung memiliki sensitivitas dan kehangatan lebih tinggi. Sementara itu, laki-laki umumnya lebih stabil secara emosional dan dominan.